Internet dan media sosial adalah ruang digital yang melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalamnya menawarkan banyak sekali peluang, baik dari sisi bisnis, literasi dan edukasi, serta pengembangan potensi diri. Tentu saja, hal ini menjadi kesempatan bagi siapapun untuk memanfaatkannya dalam proses mengembangkan diri, tidak terkecuali perempuan. Dilansir dari survey APJII tahun 2024 tentang kontribusi pengguna internet perempuan sebanyak 49,1%, ini membuktikan bahwa perempuan telah mengambil peran di ruang digital dengan berbagai aktivitasnya.
Peran para perempuan ini, tak hanya sebatas mampu mengoperasikan perangkat keras ataupun perangkat lunak, namun turut berkontribusi untuk menjadi seorang profesional dalam membangun Self Branding/ Personal Branding di ruang digital. Personal Branding menurut Sean Gresh (Northeastern University) adalah : siapa diri kita, apa yang kita perjuangkan, nilai-nilai yang kita anut, dan bagaimana kita mengekspresikan nilai-nilai tersebut. Sementara menurut Jill Avery & Rachel Greenwald (Harvard Business Review) Personal branding adalah praktik yang disengaja dan strategis untuk merancang dan mengekspresikan proposisi nilai diri sendiri. Proses ini melibatkan langkah-langkah seperti mendefinisikan tujuan, membangun narasi pribadi, dan mengkomunikasikan brand melalui berbagai saluran agar orang lain mengenali nilai unik yang kita tawarkan.Konsep personal branding tersebut sejalan dengan teori dalam Ilmu Komunikasi – Uses & Gratification, di mana teori ini menekankan pada peran aktif pengguna media saat memilih dan menggunakan media guna memenuhi kebutuhan dan keinginan pribadi mereka. Dengan mengacu pada pemahaman teori tersebut, maka self branding Ini dapat dikatakan sebagai bentuk ekspresi yang dapat mendorong inovasi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, khususnya dalam bidang ekonomi kreatif, serta sebuah strategi pemberdayaan yang menghubungkan kesadaran diri (self awareness) dan aktualisasi diri (self actualization). Dengan kata lain, mereka adalah para Konten Kreator Perempuan yang berdaya di ruang digital.
Di era digital saat ini, para content creator tidak hanya sekadar membuat konten dan menyebarkannya melalui media sosial, bidang ini telah menjadi sebuah profesi yang diminati, khususnya oleh generasi Z dan juga millenial. Mereka mampu membangun self branding sebagai content creator melalui konten yang spesifik dan pasar masing-masing. Apalagi banyak perusahaan yang mencari jasa content creator untuk melakukan sebuah kampanye digital bagi produk-produknya. Yang menarik adalah, fenomena content creator ini justru banyak diminati juga oleh kaum perempuan, tidak terkecuali para Ibu yang mencoba eksis dan mengaktualisasikan dirinya melalui ruang digital.
Memulai Dengan Self Awareness
Untuk dapat membangun personal branding, setiap individu, perempuan perlu memahami kekuatan diri, nilai, dan tujuan pribadinya. Dan hal tersebut perlu dibangun oleh kesadaran diri dengan terus mengembangkan skill-nya secara berkala, agar dalam proses membangun personal branding, seseorang dapat mengevaluasi, membandingkan dirinya dengan standar nilainya secara internal. Hal ini selaras dengan teori orisinal Duval & Wicklund, 1972, dalam bukunya ; A theory of objective self awareness yang mengatakan bahwa teori ini berorientasi pada perhatian sadar yang menjadi inti dari evaluasi diri. Ketika perhatian difokuskan pada diri sendiri, hal ini menimbulkan kesadaran diri yang objektif, yang kemudian memicu proses perbandingan otomatis antara diri sendiri dengan standar-standar tertentu. Kesadaran diri ini ini dapat membantu para perempuan dalam meningkatkan kepercayaan dirinya untuk menghadapi tantangan serta melakukan tugasnya secara maksimal. Dengan demikian, perempuan akan dengan mudah memberi pengaruh terhadap audiens, ataupun pada perempuan lainnya, sehingga personal branding tersebut akan terbentuk dengan sendirinya sesuai dengan niche yang dimilikinya.

Media Digital adalah Ruang untuk Self Actualization
Jika self awareness mampu membentuk tingkat kepercayaan diri perempuan, dalam hal ini para content creator, maka hal ini juga mempermudah dirinya untuk beraktualisasi melalui media digital (self actualization). Dunia yang tanpa batas ini menjadi jembatan untuk memperlihatkan nilai-nilai diri seseorang, untuk menjadi apa atau siapa. Terlebih lagi, perempuan memiliki DNA dasar dari sisi kecerdasan emosional, empati dan konektivitas sosial, sehingga sangat memungkinkan bagi dirinya untuk terlibat langsung dalam berbagai aktivitas ruang digital. Proses aktualisasi diri ini tentu saja tidak hanya berdampak bagi diri creator perempuan saja, namun juga dapat menjadi proses pemberdayaan perempuan secara kolektif melalui gerakan atau komunitas sesama perempuan.
Mengapa self actualization ini menjadi penting dalam proses membangun personal branding? Abraham Maslow dalam teorinya menjelaskan, bawah self actualization adalah puncak dari kebutuhan manusia, yaitu saat seseorang bisa mengaktualisasikan potensi terbaik dalam dirinya. Kebutuhan hierarki manusia sendiri, terdiri dari 5 tingkatan, dimulai dari yang paling dasar adalah : Physiological Needs, atau kebutuhan fisiologis, Safety Needs atau kebutuhan keamanan, Social Needs atau kebutuhan sosial, Egoistic Needs atau kebutuhan ego, dan Self Actualization Needs atau kebutuhan aktualisasi diri. Untuk mencapai poin terakhir, yaitu self actualization, maka setiap individu perlu melewati tahap-tahap tersebut. Dengan membangun personal branding yang kuat, terutama bagi kreator perempuan, mereka tidak hanya menciptakan citra diri yang menarik, tapi juga memberdayakan diri untuk berkembang dan berpengaruh secara nyata melalui konten.
“Konten yang paling bermakna adalah konten yang lahir dari pengalaman dan pemahaman yang mendalam dari diri sendiri.”
Strategi dalam Membangun Self Branding di Media Digital
Banyak perempuan hebat yang berhasil membangun personal branding di media sosial. Dan sangat diyakini, bahwa mereka telah melewati proses panjang, serta pengalaman yang beragam.
Jika ada yang beranggapan untuk sukses menjadi content creator perempuan di media digital itu gampang, anggapan tersebut perlu dikaji ulang. Karena, membangun self branding itu tidak semudah ‘tahu bulat digoreng dadakan.’ Apalagi jika seseorang tersebut masih buta terkait aktivitas dan manfaat ruang digital. Maka, untuk bisa berhasil – minimal dalam membangun self branding di media digital, perlu memahami langkah-langkah strategis sebagai fondasinya.
Yang pertama, menjaga konsistensi dan niat awal ketika mulai menekuni bidang content creator ini. Di tengah banyaknya fenomena flexing sebuah pencapaian, tidak sedikit dari masyarakat Indonesia sering kali terkena FOMO (fear of missing out). Dan perempuan menjadi salah satu yang paling mudah terpengaruh oleh hal-hal baru yang ada di media sosial. Sehingga, jika tanpa niat dan kesungguhan yang kuat, serta konsisten jangka panjang, proses dalam membangun self branding tidak akan fokus dan jadi sekadar latah atau ikut-ikutan saja.
Yang kedua, memahami autensitas diri atau keunikan diri yang bisa menjadi pembeda diri kita dengan yang lain. Menjadi content creator itu, mudah. Namun menjadi content creator yang memiliki USP (unic selling point) butuh pemahaman dan latihan lebih jauh. Autensitas ini mencakup bagaimana menyampaikan pesan yang tepat dengan gaya sendiri, visual yang memungkinkan ramah pandangan atau pendengaran, serta platform yang tepat. Dengan banyaknya platform yang menawarkan aneka fitur, penting bagi para creator perempuan untuk fokus di salah satu atau dua platform saja, tidak perlu semua digunakan. Sehingga autensitas ini mudah ditemukan oleh algoritma dan menjangkau segmen audiens yang tepat.
Yang ketiga, membuat konten dengan narasi yang berdampak. Di tengah munculnya konten-konten yang viral, dapat dilihat bahwa konten-konten viral tersebut sebatas konten hiburan, minim edukasi dan narasi yang bisa memberikan inspirasi serta proses kreativitas. Untuk itu, penting bagi para content creator perempuan untuk memaksimalkan sisi emosionalnya melalui storytelling, serta mendorong audiens untuk berinteraksi melalui komentar atau engagement lainnya.
Yang keempat, membangun komunikasi lewat jejaring dan gabung dengan komunitas sebagai support system dalam proses mengembangkan diri. Berkolaborasi dengan sesama konten kreator perempuan maupun komunitas, akan membantu seseorang dalam membangun personal branding-nya. Dan jika memungkinkan, teruslah meng-upgrade diri dengan mengikuti pelatihan atau webinar.
Membangun Personal Branding Bukan Sekadar Peluang, Namun Juga Tantangan
Meskipun peluang untuk bisa membangun personal branding di media digital saat ini terbuka lebar, namun bagi perempuan, ada tantangan-tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah kesenjangan digital (Digital Gender Gap). Perempuan masih memiliki akses minim terhadap teknologi, termasuk dari sisi pengetahuan dan pemanfaatan. Keterbatasan yang dimiliki oleh kaum perempuan dalam pemanfaatan teknologi ini akan menjadi hambatan mereka dalam membangun personal branding. Jangankan personal branding, bisa jadi, dalam level awareness dan actualization saja, masih terbatas.
Yang perlu diwasapdai oleh para creator perempuan ini adalah, dari sisi emosionalnya juga. Boleh jadi, saat mereka berhasil membangun personal branding dan kemudian mendapatkan berbagai peluang serta penghasilan dari media digital, akan mengubah kesadaran dirinya, dan pada akhirnya mereka justru kebablasan (over sharing). Oleh karena itu, salah satu pemberdayaan yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong program literasi digital secara inklusi dan merata, terkhusus bagi para perempuan, agar mereka mampu menjadi konten creator perempuan yang berdaya, berdampak, serta tetap bijak dalam menggunakan media digital.
Sebuah Refleksi Bagi Konten Kreator Perempuan
Personal branding bagi creator perempuan, bukan hanya soal bagaimana caranya membuat konten yang menarik atau bagaimana supaya followers makin banyak. Lebih dari itu, ini adalah perjalanan mengenal diri sendiri secara lebih dalam. Perempuan perlu memahami apa saja kelebihan dirinya, apa kekurangan yang perlu diperbaiki, nilai-nilai apa yang dipegang teguh, dan yang paling penting adalah apa tujuan hidup dan karya yang ingin dicapai melalui konten yang dibuat. Karena, passion saja tanpa purpose, kurang menjadi alasan kuat untuk mencapai puncak.
Self-awareness jadi kunci utama supaya bisa tetap otentik dan konsisten dalam membangun citra diri yang bukan hanya menarik, tapi juga bermakna. Ketika sudah sampai pada tahap self-actualization, di mana seseorang benar-benar mengekspresikan potensi terbaik dan nilai-nilainya lewat karya, personal branding itu bukan lagi sekadar strategi marketing, tapi sudah menjadi bagian dari perjalanan pemberdayaan diri dan pengaruh positif yang dibawa ke dunia.
Sementara itu, self branding sebenarnya seperti sebuah seni sekaligus strategi penting untuk para kreator perempuan di dunia media digital yang terus berkembang ini. Lewat kesadaran diri yang dalam, rasa percaya diri yang kokoh, serta kemampuan untuk mengaktualisasikan potensi diri, ditambah dengan penerapan strategi yang tepat, para kreator perempuan bisa membangun personal branding yang tidak sekadar autentik dan kuat, tapi juga memiliki pengaruh nyata. Memang, tantangan di jalan ini tidak sedikit, tapi peluang yang terbuka juga sangat besar. Maka, mulailah dari pemberdayaan diri, pengembangan karier, hingga kesempatan untuk memberikan dampak positif yang luas.
“Media sosial adalah jendela kecil untuk menafsir siapa diri kita. Oleh karena itu, rawatlah jejak digital yang baik, untuk masa depan yang lebih baik.” – Nukman Lutfi
(Kontributor : Mira Sahid | Redaktur : Hanisah Sukmawati)