Indonesia sebagai salah satu negara dengan penduduk penganut Agama Islam terbesar di dunia, banyak kebutuhan dengan konsep halal. Termasuk dalam proses transaksi keuangan untuk berbagai keperluan. Jasa fintech yang sedang marak instrumennya saat ini, karena lebih praktis dan mudah diaplikasikan prosesnya, maka fintech syariah pun bisa digunakan oleh umat Islam yang menekankan gaya hidup halal.
Perbedaan mendasar antara fintech syariah dengan fintech konvensional terletak pada proses akad antara pemilik usaha dan investor yang lebih jelas dan terdapat Dewan Pengawas Syariah yang terekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Fintech syariah tidak boleh melibatkan akad atau produk yang mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Agama Islam. Misalnya riba, maisir, ghahar dan zolim.
Beberapa akad yang lazim digunakan dalam fintech syariah adalah:
Mudharabah, akad antara pemilik usaha dan pemilik modal dimana keuntungan dibagi secara adil namun jika terdapat kerugian maka pemilik modal yang bertanggung jawab
Musyarakah, akad antara satu orang dengan dua orang atau lebih dimana keuntungan dibagi rata
Produk dalam fintech syariah bisa berupa pinjaman murni, jual beli dan sewa menyewa.
Sebelum produk dijual ke pasar, diproses melalui rangkaian verifikasi di OJK dan platform dengan keterlibatan Dewan Pengawas Syariah Nasional.
Proses yang diverifikasi adalah mencakup proses bisnis, permodalan, model bisnis, penyaluran dan sumber dana harus memperoleh rekomendasi dari DPS. Lalu proses di OJK melalui Direktorat Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Syariah. Meminta rekomendasi atas kepastian bahwa produk tersebut benar-benar memenuhi syarat sesuai prinsip syariah.
Proses menuju usaha fintech syariah ada empat tahapan yang wajib dijalankan agar pengawasannya benar-benar ketat dan tidak keluar dari kaidah-kaidah Islam, proses tersebut adalah:
1. Terdaftar di OJK
2. Melengkapi dokumen syah perusahaan melalui Desk Review MUI
3. Presentasi di hadapan tim visitasi MUI
4. Apabila presentasi memenuhi standar maka perusahaan tersebut resmi mendapatkan rekomendasi dari Dewan Pengawas Syariah.
Dalam memperkuat kualitas dan kepercayaan serta marwah dari fintech syariah, maka sistem pengawasan pun sangat penting dalam operasionalnya. Fintech syariah diawasi oleh audit internal, audit eksternal seperti akuntan publik, lalu oleh Bank Indonesia atau OJK dan Dewan Pengawas Syariah Nasional MUI.
Hal ini untuk memastikan bahwa kegiatan usaha yang dilaksanakan oleh penyelenggara fintech syariah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Setelah mengetahui konsep dan prinsip dari fintech syariah ini, bertransaksi untuk berbagai kebutuhan menjadi leluasa dan menenangkan bukan? Bagi siapapun tentunya mempunyai pilihan dalam menentukan bentuk transaksi yang ingin dijalankan. Antara fintech konvensional atau fintech syariah dua-duanya dapat dijalankan sesuai prinsip yang diyakini. Terpenting lagi, gunakan manfaat fintech hanya untuk hal-hal yang bersifat produktif dan berorientasi pada kebutuhan. Jangan lupa, pilih yang terdaftar di institusi keuangan resmi seperti OJK, BI dan BAPPEBTI.