Sobat Female, belakangan ini program pembinaan anak bermasalah di barak militer seperti yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjadi perbincangan hangat di media dan ruang-ruang diskusi publik. Program ini memang bertujuan mulia yaitu membentuk karakter disiplin, mengarahkan kembali anak yang “tersesat”, dan memberikan lingkungan yang lebih terstruktur bagi remaja yang mengalami masalah perilaku. Namun, benarkah cara militeristik adalah satu-satunya jawaban?
Program barak militer diperuntukkan bagi remaja bermasalah, seperti anak yang terlibat tawuran, bolos sekolah, atau kecanduan gadget. Mereka ditempatkan dalam barak militer untuk menjalani rutinitas ketat seperti bangun pagi, olahraga, pelatihan fisik, kegiatan seni dan budaya, serta bimbingan belajar. Program ini dirancang agar anak bisa kembali ke sekolah dengan sikap dan mental yang lebih sehat.
Tak hanya fisik, mereka juga dijauhkan dari rokok, obat-obatan, dan pergaulan bebas. Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan—terstruktur, disiplin, dan berorientasi pada perubahan positif. Namun, kenyataan di lapangan memunculkan pro dan kontra yang tajam.
Psikolog anak dan remaja memandang bahwa lingkungan yang terstruktur memang dapat memberi rasa aman bagi anak-anak dari keluarga atau lingkungan yang tidak kondusif. Dalam banyak kasus, anak justru mencari figur otoritatif yang bisa menuntun mereka, dan rutinitas barak memberikan itu.
Memang, ada juga kekhawatiran pendekatan militer ini justru dapat menjadi bumerang. Anak bisa menjadi patuh karena takut, bukan karena paham nilai-nilai kebaikan. Hal lainnya yang ditakutkan adalah trauma jangka panjang, harga diri rendah, atau bahkan ledakan emosi yang tersimpan terlalu lama. Mereka berubah di luar, tapi hampa di dalam.
Selain itu, program barak militer juga dianggap sebagai celah bagi orang tua untuk “cuci tangan”, dengan menyerahkan anak pada sistem yang dianggap keras, alih-alih menyelesaikan masalah dengan komunikasi yang baik, kedekatan emosional, dan pendampingan.
Perubahan sejatinya dimulai dari rumah. Anak-anak bukan ‘produk gagal’ yang bisa diserahkan pada pihak luar untuk “diperbaiki”. Mereka adalah cermin dari lingkungan terdekatnya. Bila yang dibenahi hanya perilaku, tapi relasi dalam keluarga tetap dingin, apakah mereka sungguh pulih?
Namun Sobat Female, jika kita melihat segala sesuatu dari sisi negatif, tentu tidak akan ada habisnya, ya. Program barak militer bukanlah program yang tidak ada tujuan tertentu, banyak harapan baik yang ditorehkan dengan adanya program ini. Terlebih, KDM sudah banyak memberikan dokumentasi yang menjadi bukti nyata betapa banyak output positif dari program ini. Tentu kita harus mengakui itu.
Di beberapa kasus, setelah menjalani program barak militer, anak merasa lebih teratur, sehat, dan termotivasi kembali setelah keluar dari barak. Mereka mengenal tanggung jawab, kebersamaan, bahkan mulai memupuk rasa bangga pada diri sendiri.
Semua manfaat di atas akan menjadi lebih maksimal, dengan follow up yang sehat setelah program selesai, seperti adanya keterlibatan keluarga, konseling dengan Psikolog Anak jika memungkinkan, dan bentuk dukungan lainnya. Barak bukanlah akhir, namun merupakan titik awal dari pemulihan karakter.
Sebagai orang tua, perempuan, dan bagian dari komunitas yang peduli pada masa depan anak-anak, kita perlu mempertanyakan kembali, “apakah kita sedang membentuk anak-anak yang disiplin, atau hanya membungkam suara hati mereka?, apakah kita hadir sebagai pelindung yang hangat, atau hanya mengandalkan sistem untuk menyelesaikan luka yang tak pernah kita obati?”.
Pendekatan terbaik tetaplah yang seimbang, antara ketegasan dan kasih sayang. Karena anak-anak tidak hanya butuh dikendalikan, tapi mereka butuh didengarkan, dipahami, dan dipeluk.
(Jurnalis : Hani S. | Redaktur : Hanisah Sukmawati)
Source Picture: Instagram/@dedimulyadi71