Lima Hal Penting Untuk Orang Tua dengan Anak Remaja

Jakarta, 13 Februari 2021 – Orang tua dengan anak remaja sering mengeluhkan kualitas kebersamaan dengan putra putrinya yang sudah beranjak remaja. Dikarenakan para remaja ini sudah mempunyai dunianya masing-masing yang ditemukan di luar.

Psikolog Elisabeth Santoso,  pada temu virtual #Realtalk bertema “Menjadi orang tua zaman now buat si anak remaja” yang diselengarakan oleh @Momsweetmoms, mengatakan bahwa sebagai orang tua harus selalu ada sebagai teman untuk anak remajanya karena remaja sedang memiliki perkembangan emosi yang cukup dominan dan memerlukan orang yang memahaminya.

Berikut lima bahasan yang diungkapkan Psikolog Elisabeth Santoso yang penting diterapkan saat mendampingi anak usia remaja.

1. Menjadi pendengar yang baik

Saat anak mengungkapkan isi hatinya, seperti kesedihan, kekesalan, kecemasan dan lain-lainnya, sebaiknya orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian sampai anak selesai berbicara. Jangan pernah memotong apalagi menyuruhnya untuk tidak membahas apa yang diungkapkannya. Karena menurut Psikolog Elisabeth, jika anak dipotong saat mengungkapkan isi hatinya, akan cenderung lebih tertekan dan segala unek-unek yang dipendamnya akan memberikan dampak tidak nyaman pada diri anak ke depannya.

Sebaiknya, orang tua memberikan bahu dan pelukan ketika anak mengungkapkan sesuatu. Agar anak merasa lega dan bisa sama-sama mencari solusi terbaik atas apa yang dihadapinya.

2. Tidak terjebak dengan keharmonisan keluarga

Jangan merasa semua sudah aman ketika keluarga harmonis, hangat dan sempurna. Karena remaja tak hanya hidup dalam lingkup keluarga inti. Remaja sudah mendapat lingkaran pertemanan beragam ditambah dengan melimpahnya arus informasi di sosial media. Remaja cenderung sensitif dengan sesuatu yang menyentuh hati dan jiwanya. Jadi, walaupun seorang remaja terlihat nyaman di rumah, harus selalu ada komunikasi dan menanyakan bagaimana kondisi sesungguhnya dengan gaya komunikasi tidak menginterogasi.

Hal ini terbukti, berdasarkan cerita Mona Ratuliu pada putrinya yang sudah remaja, menurutnya ketika putrinya merasa panic dan gelisah secara tiba-tiba, harus disikapi dengan mendengarkan keluhannya. Bukan menganggapnya bersikap berlebihan. Begitu pula dengan cerita Novita Angie, ketika anaknya menangis dan merasa tidak nyaman karena melihat orang lain di sosial media yang diperlakukan tidak baik, putri Novita Angie merasa ingin jiwanya dipulihkan. Padahal masalah bukan datang atas dirinya namun efek dari masalah orang lain yang terlihat di sosial media.

Psikolog Elisabeth memberikan saran agar dalam kondisi tersebut, orang tua benar-benar menfasilitasi kebutuhan anak untuk merasa tenang. Sesederhana memberikan pelukan, menuruti keinginannya untuk konsultasi kepada psikolog atau sekadar mendengarkannya dan membantunya mencarikan solusi. Juga tidak lupa dan tidak bosan untuk selalu menanyakan apa kabar anak. Bagaimana dengan kegiatannya di hari itu, apakah menemui sesuatu yang istimewa atau sebaliknya? Jadi harus selalu ada bahan obrolan untuk menggali bagaimana kondisi anak yang sebenarnya.

3.  Selalu memberi dukungan terhadap pencapaian sekecil apapun

Kadang orang tua lupa dengan pencapaian-pencapaian anak yang mengalami kemajuan walaupun belum banyak. Sering dianggap biasa saja dan cenderung memandang belum layak diapresiasi. Padahal, dengan mengapresiasinya, akan memberikan semangat dan motivasi.

Contohnya, ketika mereka berhasil rutin memelihara tanaman, remaja putri yang sudah mulai meningkat dapat memasak sup ayam yang tadinya hanya mampu membuat telur ceplok. Atau remaja putra yang sudah bisa mencuci mobil ayahnya tanpa dibantu siapapun. Hal ini penting sekali diapresiasi sebagai pengakuan dan penghargaan sebagai individu.

Dalam hal ini, Psikolog Elisabeth menyatakan bahwa anak remaja sedang masanya ingin memperoleh pujian, pengakuan, ingin dianggap hebat dan berguna. Jadi, perkembangan emosinya harus dipahami orang tua agar anak selalu termotivasi menjadi individu yang selalu meningkat pola pikir dan prestasinya.

4. Menghargai privasinya

Patut dihindari sikap orang tua yang selalu menginterogasi atau melanggar privasi anak dengan bertanya lansung tentang apa yang dicurigainya tanpa ada percakapan yang nyaman. Lalu, jangan membuka aplikasi percakapan anak dengan teman-temannya tanpa seizinnya. Karena cara-cara ini bukannya membuat anak menurut namun akan merasa tidak respek dengan sikap orang tuanya.

Sehingga anak akan kehilangan sosok yang yang seharusnya dipercayai. Juga kehilangan sosok yang seharusnya menjadi anutan. Karena orang tua sudah memberikan contoh yang tidak baik dengan pelanggaran privasi tersebut.

Anak semestinya diberikan ruang privasi agar dapat berpikir luas dan jernih juga memberikan kesempatan untuk melakukan tanggung jawabnya dalam berkegiatan di perangkat yang dimilikinya.

Untuk mengetahui apa kegiatannya, teman-temannya dan lain-lainnya, orang tua dapat membuat akun di aplikasi serupa yang digunakan oleh anak lalu ajak berbincang terhadap satu topic yang menarik menurutnya. Lalu pancing dengan obrolan-obrolan yang mengarah ke informasi apa saja yang sedang dikerjakan anak bersama teman-temannya. Hal ini dapat dilakukan bertahap setiap hari. Tidak sekaligus.

5. Memahami Sosial Media

Tak dipungkiri, kehadiran sosial media dan kemajuan perangkatnya juga kadang menimbulkan efek negatif. Melimpahnya informasi, banyaknya komunitas dan lain-lainnya membuat anak juga terpapar. Pekerjaan rumah tambahan bagi orang tua, untuk mempelajari jenis-jenis sosial media yang sering digunakan anak. Dari mulai membuat akun, mempelajari kontennya, mengetahui pengaturan akunnya dan lain-lain. Karena dengan demikian, sebagai orang tua akan dapat melindungi anak di sosial media jika mengetahui semua aspek dan pengaturan privasinya.

Dampak negatif seperti bullying sangat berpengaruh pada kesehatan mental anak. Dan ini potensinya banyak terjadi dari aktivitas di sosial media.

Lima hal yang penting diperhatikan dan diterapkan oleh para orang tua ini dapat dijalankan dengan kompak bersama keluarga besar. Perlu komitmen dan komunikasi yang tertata. Dari lima hal ini, dapat meminimalisir potensi gangguan kesehatan mental remaja. Apalagi di masa pandemic ini ditambah dengan berbagai penyesuaian diri remaja. Belajar online, tidak bertemu teman secara fisik yang biasanya menjadi ajang berekspresi dan keterbatasan – keterbatasan lainnya. Semuanya dapat dicegah dengan penjagaan mulai dari orang tua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *