“Biasalah namanya juga anak-anak, nanti juga baikan lagi”
Sepenggal kalimat di atas, sering terdengar jika menemukan sebuah pertengkaran antar anak. Masalahnya, bukan sekadar anak-anak tersebut nantinya akan mudah untuk berhubungan baik kembali. Apakah terpikirkan akibat jangka panjangnya? Saat memori anak merekam kejadian perundungan tersebut hingga dewasa bahkan ketika sudah memiliki keturunan lagi dengan masih membawa ransel emosi berikut inner child yang kurang menyenangkan?
Perundungan masih mendominasi permasalahan terutama di lingkungan satuan pendidikan pada anak-anak usia sekolah. Data Asesmen Nasional, Kemendikbud Ristek 2022 mencatat 36,31% peserta didik berpotensi mengalami perundungan. Jika tidak diputus mata rantainya, berpotensi memanjangkan tongkat estafet baik bagi korban maupun pelakunya. Disebabkan ketidaktahuan anak terhadap apa yang dilakukannya.
Oleh karena itu, diperlukan edukasi massif dari berbagai elemen tentang perundungan ini mulai akar masalah hingga solusinya kepada berbagai pihak baik dalam lingkungan satuan pendidikan, orang tua, anak-anak dan masyarakat umum.
Oleh karena itu, pada 22-24 April 2024 di Hotel Harris Tebet, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Puspeka (Pusat Penguatan Karakter) menggandeng UNICEF Indonesia menyelenggarakan sosialisasi pencegahan perundungan melalui beberapa komunitas yang akan menjadi corong sosialisasi ini pada masyarakat umum hingga satuan pendidikan dimulai dari lingkungan terdekatnya yaitu anggota masing-masing komunitas. Dalam acara ini, komunitas yang hadir dari The Founders sebuah asosiasi pemimpin berbagai komunitas yang digawangi oleh Widya Safitri.
Dalam pesan kunci yang disampaikan Kepala Puspeka Kemendikbud Ristek, Rusprita Putri Utami, S.E., M.A. Menyatakan bahwa masalah perundungan menjadi tanggung jawab bersama yang harus dituntaskan bersama agar tidak menjadi batu sandungan bagi anak-anak bangsa yang sedang menjemput masa depannya.
Sebelum mencari solusi dalam upaya pencegahan perundungan ini, perlu diketahui definisi dan dampak dari perundungan ini. Berikut penjelasan dari UNICEF yang disampaikan oleh Fauzia Firdanisa.
Definisi Perundungan / Bullying
Perundungan adalah sebuah perilaku agresif yang dapat dikategorikan dalam empat jenis umum sebagai berikut:
Verbal, perlakuan langsung mengejek, memanggil dengan nama-nama yang tidak pantas seperti mengasosiasikan binatang dan hal-hal buruk lainnya atau sesuatu yang tidak sopan seperti memanggil nama orang tuanya dengan nada merendahkan serta ada indikasi ancaman.
Sosial atau relasional, mendiamkan atau menjauhi seseorang secara sengaja, tidak mengikutsertakan seseorang dalam grup atau kelompok, dengan mengucilkan dirinya secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Hal ini tentu mengundang rumor jelek dan dapat memunculkan persepsi-persepsi kurang baik kepada anak yang dikucilkan.
Fisik, penyerangan secara fisik termasuk memukul, menendang, menampar, merusak dan mencuri barang atau properti yang bukan haknya.
Cyberbullying, merendahkan dan melakukan pelecehan di media sosial dengan cara berpura-pura menjadi seseorang dengan melakukan berbagai hal tidak menyenangkan seperti stalking untuk tujuan negatif, mencuri identitas hingga melakukan hal tidak menyenangkan melalui kolom komentar atau pesan.
Dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan tersebut, adanya ketidakseimbangan kekuasaan atau kekuatan yang dilakukan secara berulang dengan tujuan untuk menyakiti. Tidak semua kekerasan itu perundungan tapi perundungan adalah salah satu bentuk kekerasan.
Penyebab Perundungan
Pola asuh keluarga, seseorang dengan pola asuh yang kerap mendominasi sesuatu dan selalu mengomentari setiap kekurangan orang lain dengan gaya kekuasaan tertentu akan menjadi contoh bagi anak dan diterapkan di lingkungannya.
Tidak memahami arti perbedaan, anak yang tidak mendapatkan bimbingan wawasan tentang arti perbedaan kondisi sosial, kemampuan ekonomi, ras, agama hingga suku dengan mengedepankan arti empati, anak akan selalu fokus hanya pada kekurangan orang lain dengan memandang bahwa orang dengan kekurangan dan keterbatasan adalah tidak layak berteman dengannya. Dalam hal ini, orang tua dan guru wajib memberikan pemahaman arti perbedaan itu untuk saling mengerti, menyayangi, membantu dan merangkul. Bukan mengecilkannya.
Rasa tidak percaya diri anak akibat adanya rasa tertekan, dikejar target prestasi, ketidakmampuan mengatasi masalah yang berujung rasa khawatir berlebihan membuat anak mencari jalan sendiri dengan menyakiti orang lain sebagai pemikiran bahwa dirinya juga mempunyai power. Padahal dengan dirinya menjadi perundung tidak membuatnya menjadi lebih tinggi derajatnya dari yang disakiti, malah akan membuatnya semakin berkembang masalahnya.
Dampak Perundungan
Dampak perundungan baik bagi pelaku atau korban sama ruginya. Diantaranya penurunan prestasi akademis, kesehatan juga berdampak pada fisik dan mental dan akibat jangka panjangnya adalah keinginan untuk bunuh diri.
Lingkaran Perundungan
Perundungan tidak hanya melibatkan pelaku dan korban saja. Ada lingkaran perundungan yang berpotensi menjadi perundung atau pembela. Dalam lingkaran ini, diharapkan posisi-posisi netral sebaiknya cenderung menjadi pembela korban dan mengingatkan perundung agar tidak meneruskan tindakannya dan tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Lingkaran tersebut adalah siswa yang merundung, pengikutnya, pendukung perundung pasif yang ikut menertawakan tapi tidak ikut mengejek, penonton yang tidak mau terlibat yang tidak mencoba menolong korban, pembela potensial yaitu siswa yang tidak suka bullying namun tidak berbuat apa-apa untuk mencoba menolong korban, pembela yang mencoba menolong korban dan yang terakhir adalah siswa yang di-bully.
Jika para orang tua menemukan berbagai potensi lingkaran dalam perundungan ini sebaiknya ajak mereka bicara dan memberikan pengertian tentang arti empati dan moral yang lebih ditingkatkan agar mereka lebih memahami konteks perbedaan yang wajib ditelaah terhadap keputusannya dalam bersikap.
Deteksi Dini
Garda terdepan dalam mencari akar permasalahan perundungan adalah di lingkungan rumah, deteksi sikap anak, jika anak merasa cemas terhadap sesuatu, merasa rendah diri dan tidak merasa nyaman terhadap sesuatu, ajak anak untuk berkomunikasi terbuka. Tidak disarankan memotong pembicaraan saat anak mengemukakan suatu kelemahan dengan kata-kata “Gitu aja kok nangis” atau “Laki-laki harus kuat, masa kalah digituin” atau kata-kata lainnya yang mematahkan semangat dan harapannya.
Beri pengertian dengan bahasa yang mudah dipahaminya lalu ucapkan terima kasih setelah selesai bercerita agar anak merasa ada pelabuhan untuk bersandar dan kepercayaan kepada orang tua tentang masalahnya lebih besar. Hal ini akan memberikan dampak positif terhadap berbagai masalah anak yang dapat diselesaikan di lingkungan rumah terlebih dulu.
Peran The Founder, Kolaborasi Komunitas Atasi perundungan
Henny Hermanoe yang biasa dipanggil Kak Henny, Pembina LPAI, Dewan Penasehat The Founders, Praktisi Perlindungan Anak dan Founder Kids 19 Foundations mewakili The Founders yang diinisiasi Widya Safitri pada 29 September 2021. Hingga kini The Founders beranggotakan lebih dari 150 komunitas dari seluruh Indonesia dengan berbagai kategori.
Kak Henny melalui The Founders berkomitmen dalam upaya pencegahan perundungan melalui program berkelanjutan karena menurut Kak Henny, baik pelaku maupun korban mereka adalah anak-anak yang wajib dirangkul agar mereka tetap bisa tumbuh sebagai generasi emas yang kelak menjadi tulang punggung bangsa.
Kak Henny memaparkan target 100 komunitas bergerak ke 100 sekolah hingga menemukan solusi dan menjadikan sekolah tersebut bebas bullying dan menghasilkan solusi setidaknya 30.000 anak dan keluarga terselamatkan dan menjadi generasi berkualitas dengan memutus rantai perundungan di sekolah. The Founders juga berkomitmen untuk membuka kolaborasi dalam upaya program pencegahan perundungan dengan konsep berkelanjutan.
Langkah Konkret Kemendikbud Ristek dalam Upaya Pencegahan Perundungan
Kemendikbud Ristek membangun program Roots bersama UNICEF Indonesia, yaitu program pencegahan perundungan yang berpusat pada peran peserta didik agen perubahan di sekolah berupa ko-kurikuler atau ekstrakurikuler dengan memilih agen perubahan yang difasilitasi oleh guru dengan melakukan kegiatan satu minggu sekali.
Pelatihan dalam Program Roots melibatkan fasilitator nasional, sekolah, fasilitator guru, agen perubahan terpilih dan siswa-siswa sekolah tersebut. Bahan yang tersedia untuk pelatihan berupa Modul Roots Indonesia, File PPT Bimtek dan berbagai platform yang dapat diakses oleh fasilitator maupun para agen perubahan.Untuk selengkapnya informasi detail dapat diakses melalui website cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id dan Sosial media Cerdasberkarakter Kemdikbud RI melalui Instagram, Facebook, You Tube dan Tik Tok.