Memperoleh Hal Baik Lebih Banyak dengan Membiasakan Delay of Gratification

Permasalahan sosial yang menimpa banyak anak muda sekarang ini sangat memprihatinkan, berita yang tersebar di media sosial tentang bullying, kekerasan yang dilakukan anak-anak terhadap teman sebayanya atau kisah seorang anak yang tidak bahagia dengan semua kenyamanan yang didapatkan dalam hidupnya. Hal ini tentunya adalah kondisi di mana anak-anak belum memahami konsep hidup yang memerlukan perjalanan proses disertai dasar empati.

Anak akan mampu memahami konsep hidup dengan berproses jika ada fondasi kuat yang ditanamkan sejak dini dari orang tua atau lingkungan keluarganya. Karakter tersebut dapat dibiasakan dengan menyelipkan edukasi dalam kehidupan sehari-harinya secara praktik.

Pakar Psikologi dari Stanford University, Walter Mischel 1960-1970 melakukan Konsep Delay of Gratification dengan metode Marshmallow Test. Konsep ini dapat diterapkan untuk memunculkan kualitas diri anak berupa penilaian diri dan rasa empati yang lebih dalam dengan menunda kesenangan untuk memperoleh rasa bahagia yang lebih besar dalam jangka panjang.

Dalam penelitiannya, Walter Mischel mengumpulkan lebih dari 400 anak usia 4-5 tahun untuk diberikan sepotong marshmallow dalam satu ruangan tersendiri. Setiap anak ditantang untuk menunggu 15 menit hingga pemberi marshmallow itu kembali ke dalam ruangan, jika belum termakan maka si anak akan mendapatkan satu potong marshmallow lagi sebagai hadiah untuk kesabaran anak tersebut telah menunggu selama 15 menit.

Dari penelitian tersebut, dua puluh tahun kemudian Walter Mischel mengevaluasi anak-anak yang mampu menunda untuk memakan marshmallow selama 15 menit saat usia mereka balita, hasilnya mereka mempunyai kecerdasan secara intelektual dan emosional lebih baik karena mereka mampu mengendalikan diri saat menerima sebuah kesenangan dengan menganalisis dalam waktu lima belas menit tersebut untuk dipakai berpikir langkah selanjutnya harus melakukan apa adan bagaimana menciptakan moment dalam masa tunggu tersebut.

Contohnya, pada saat anak dijanjikan berlibur ke tempat favoritnya. Orang tuanya memberikan pilihan, jika berliburnya sebelum ujian sekolah, liburan hanya di dalam negeri saja namun jika mau menunggu hingga ujian sekolah selesai dengan nilai sesuai target maka lokasi liburan adalah di luar negeri, tempat yang selama ini diidamkan oleh anak tersebut. Jika nilai anak tidak memenuhi target maka tawaran liburan tersebut akan hangus dua-duanya.

Jadi, si anak hanya punya dua pilihan, bisa liburan saat itu juga namun tempatnya pilihan orang tua atau menunggu hingga ujian selesai dengan kemungkinan hangus jika tidak mendapatkan nilai yang sesuai harapan.

Ternyata anak ini memilih berlibur setelah ujian sekolah dan di masa tunggu tersebut, si anak melakukan hal-hal yang dapat memuluskan harapannya untuk berlibur di tempat yang selama ini diinginkannya. Seperti belajar dengan giat, memanfaatkan waktu untuk berencana pada saat liburan itu mau melakukan apa saja hingga mengumpulkan data agar tidak terlewatkan hal-hal mengesankan di tempat liburannya nanti.

Hingga pada saatnya anak tersebut berhasil lulus dengan nilai terbaik, secara otomatis dia memperoleh kesenangan dan kebahagiaan yang lebih banyak. Mulai dari mendapatkan reward liburan di tempat yang selama ini diimpikannya, mencukupi perbekalan dan persiapan hingga membuat kedua orangtuanya bangga atas prestasinya. Selain itu, anak tersebut juga sudah melalui proses belajar dalam memperkuat fondasi saat menghadapi berbagai situasi yang hasilnya adalah menjadi yang terbaik dan memberikan yang terbaik bagi orang di sekitarnya juga.

Dampak dari Delay of Gratification ini akan terbawa hingga anak dewasa, baik dalam pergaulan sehari-hari atau pekerjaan dan bisnis.

Anak yang terlatih mendapatkan kebiasaan Delay of Gratification dari orang tuanya sejak dini, saat dewasa akan mempunyai sikap berpikir kritis terhadap sesuatu dan tidak terburu-buru dalam mengambil sikap dan keputusan. Semuanya akan dipikirkan sebaik dan sesempurna mungkin sehingga pada saat melakukan kesalahan atau ketika terdapatnya kekurangan pun, kondisi tersebut dapat diterimanya dengan hati terbuka dan ada dorongan untuk memperbaikinya.

Karena sudah mengetahui bagaimana proses terbaik yang dilakukannya dalam masa tunggu yang mendatangkan banyak pemikiran, pengendalian dan kesempatan untuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Cara menerapkan Delay of Gratification ini bisa langsung dipraktikkan mulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Sesederhana saat ingin memberikan reward makanan enak atau jajan di luar untuk anak, membelikan minuman favorit atau saat ingin membelikan pensil warna lucu. Investasi edukasi dimulai dari hal kecil berdampak jangka panjang untuk masa depan lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *